Gambar Slide Show

Minggu, 09 Maret 2014

Bapak Juga Sekolah

“BAPAK JUGA SEKOLAH”
                Setiap pembagian rapor, Lanty merasa tidak khawatir. Demikian juga Tysar. Mereka berdua tak pernah khawatir nilainya terlalu rendah -waktu Tysar pernah tinggal kelas, tapi tak khawatir pernah merasa tak enak untuk soal angka. Satu-satunya  alas an khawatir Lanty dan Tysar ialah rapor harus diambil orang tuanya.

                Lanty kasihan melihat Bapak mengambil hasil rapor. Ia harus menyediakan wakyu khusus. Dan Bapak  -sebenarnya, Tysar juga tahu-  lebih suka bekerja. Bagi mereka sekeluarga tak ada waktu paling bagus selain untuk bekerja . Itulah taruhan utama kalau ingin tetap bertahan hidup.
Lagi pula kalau Bapak datang selalu tampak paling lusuh. Bajunya putih kedodoran dengan celana yang kian kusut dari tahun ke tahun. Topinya makin belang belonteng. Sangat kontras dengan orang tua siswa lainnya. Bahkan. Kadang dibandingkan dengan sopir pun, Bapak kalah jauh kementerengannya.
Belum lagi, kalau misalnya, harus menjawab mengapa bayaran sekolah belum lunas. Atau menjawab bahwa kali ini belum bisa melunasi iuran.
                Kalau orang tua yang lain datang dengan kendaraan yang mewah –Tysar sering heran ternyata banyak mobil di desa mereka –Bapak hanya mempunyai ada dua pilihan. Kalau tidak jalan kaki ya naik becak kendaraan “dinasnya”.
                 “Aku berharap cepat gede. Jadi, bisa mengambil rapor sendiri.” Kata Lanty.
                “Gedemu masih lama. Aku saja belum,”jawab Tysar sengit.
                “Kasihan Bapak.”
                “Habis siapa yang mengambil rapor?”
                 Emak?
Ya, pernah terfikir oleh Lanty. Bukan Emak tidak apa-apa kalau jalan atau naik omprengan? Tetapi Tysar bisa berrfikir jauh. Kalau Emak yang datang, persiapannya harus lebih banyak.
Terang Emak tak mungkin datang ke sekolah dengan pakaian sehari-hari seperti kalau membuat kripik singkong. Bagaimanapun emak juga harus memakai baju. Gaun, atau kain yang bersih. Belum lagi selendang, sepatu, ataupu juga bedak.
                “Enakan kalau mengambil rapor setahun sekali,” kata Lanty mengeluarkan gagasannya.
                “Memang sekolah kamu sendiri ! itu sudah peraturan.”
                “Ya sudah, Bapak saja yang mengambil.”
                Memang. Bapak sendiri memutuskan untuk mengambil.
                “Peraturan itu dibuat untuk kepentingan kita juga,” kata Bapak malam harinya. “Supaya saya sebagai orang tua bisa mengerti apa yang terjadi di sekolah. Berat atau tidak berat, harus Bapak lakukan.”
                “Besok abah ke sekolah?”
                “Ya.”
                “Bawa Becak?”
                “Ya. Kenapa?”
                Lanty tidak menjawab. Tysar tidak menjawab. Tiawan tidak menunggu.
                “Malu ya kalau Bapak bawa becak?”
                Lanty mengeleng, cepat.
                “Tiawan ikut Pak?” Mata Bapak menatap Tiawan.
                “Tidak.”
                “Huu,” menggerutu Lanty.
                “Ya, kita tidak malu kalau hanya bisa pakai becak. Kita tidak merugikan siapa-siapa. Jadi, kenapa harus malu? Tak usah malu, asal tidak malu-maluin,” suara Bapak tetap tenang. Tidak terpengaruh.
                Pemunculan Bapak di sekolah memang tidak terpengaruh. Seperti telah diduga oleh Lanty, yang pada saat hari itu terpaksa Tiawan ikut –dan Emak khawatir tak ada yang menjaga Tiawan. Hanya saja, Lanty tak membawa kripik singkong.
                Sejak Ayah-ayah temannya Lanty datang, Lanty menyadari bahwa mata orang tua teman-temannya, orang tua teman-temanya Tysar, memandang kearah becak. Pandangan mereka diartikan kurang enak bagi Lanty.
                “Nanti kalau hujan  kamu kehujanan,”Kata Aldi.
                “Kan bisa di tutup,” jawab Lanty yang di ulang Tiawan.
                “Tapi plastic begituikan masih bisa basah.”
Lanty tidak bisa menjawab.
“Kalau bawa becak seperti ini setorannya berapa Lan?”
Lanty tidak menjawab karena tidak tahu. Tapi Tiawan menjawab meskipun tidak tahu.
“Seratus.”
“Seratus? Murah sekali.”
“Tidak. Tidak seratus,” ralat Lanty.
Aldi mengangguk.
“Tiawan boleh nyanyi tidak?”
“Hooo maunya menyanyi melulu. Ini buka perayaan.”
Tiawan tampak kecewa.
Sementara itu  teman-teman yang lain merubung. Ada yang membawa roti, ada yang membawa makanan, es krim dan ada pula yang membawa hp bagus-bagus. Lanty makin kikuk. Kecewa. Tiawan juga –meskipun sebabnya berbeda.
“Sudah main sana, jangan dekat-dekat.”
Tapi yang datang malah makin banyak.
Baru perhatian semuanya teralih ketika ada rombongan orang asing datang. Badannya tinggi, kulitnya putih, dan rambutnya pirang. Tiga orang berbicara yang tidak bisa dimengerti. Semuanya merubung. Semua mengelilingi. Orang asing itu berbicara tapi tidak ada yang bisa menjawab. Orang asing itu tampak kesal, tapi tak ada yang mengerti.
                Orang tua yang ada juga melihat. Barulah kemudian Lanty melihat Bapak  berdiri, mendekati dan kemudian mengajak berbicara. Ketiga orang asing itu tampak sangat gembira. Ia menunjukkan kejadian itu pada Tiawan.
“Lihat Bapak bisa bebicara dengan mereka.”
“Tiawan juga bisa. Heh hoh heh, gud be, yes papa…. Tiawan terus menyerocos seperti yang di dengar kurang jelas dari siaran televisi.
Bapak menjawab, menerangkan dan kemudian pergi diikuti ketiga orang asing. Semua mengikuti sampai ujung jalan. Mereka menuju ke sebuah mobil yang mogok.
“Ada apa, Pak?”
“Mereka bertanya di mana ada bengkel mobil yang terdekat.” Jawab Bapak  sambil mengelus Lanty. Bapak mengenalkan kepada ketiga orang asing tersebut. Demikian juga Tiawan. Tiawan tertawa dan heh-hoh-heh serta yes pa. ketiga orang asing tersebut itupun ikut tertawa.
Bapak membuka kap mobil, mengutak-atik sebentar. Lalu kembali ke belakang  kemudi. Menghidupkan mesin. Mengulang lagi. Mencopot beberapa bagian. Menyambung lagi. Menghidupkan mesin lagi. Menyalakan kembali.
Dan mobil itu mesinnya hidup lagi!
Bapak menerangkan sedikit, ketiga orang asing tersebut manggut-manggut berterima kasih dan memberikan sesuatu kepada Bapak. Bapak menolak, tersenyum lalu kembali ke dalam.
Lanty dengan perasaan bangga menggandeng tangan Bapak.
“Bapak pintar sekali ya.”
“Bapak dulu sekolah,” jawab Bapak.
“Nanti Lanty diajari ngomong bahasa inggris ya, Pak!”
Bapak mengelus rambut Lanty.
Lanty makin bangga.
Hanya Tiawan yang masih terus memandang ketiga orang asing hilang di jalan raya. Mungkin saja ia berfikir: kalau Bapak menolak pemberian kenapa tidak diberikan pada saya?.

By: MAKOSAGA Team 2k12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Video